Membuat Anak Cinta Matematika

Bagi sebagian besar anak, matematika menjadi momok yang menakutkan. Pelajaran ini dianggap sulit dan menjemukan.

Nah, bagaimana mengubah paradigma tersebut? Pagi itu Wina mendapati putranya, Toni, yang duduk di kelas empat SD, tampak tidak bersemangat. Bocah berusia delapan tahun ini mengaku tidak enak badan. Dia pun menutup tubuhnya dengan selimut.

Alhasil, Wina pun mengizinkan Toni untuk beristirahat di rumah. Anehnya, minggu berikutnya di hari yang sama, Wina kembali mendapati Toni dengan keadaan yang serupa.

Menurut Toni, dirinya kini menderita sakit perut. Padahal, sedikit pun tak tampak rona pucat di wajah putra semata wayangnya tersebut.

Selidik punya selidik, rupanya di hari itu ada pelajaran yang dibenci Toni. Apalagi kalau bukan matematika. Kalau sudah begini, Wina pun bingung membujuk putranya tersebut. Sebenarnya bukan tanpa alasan Toni tidak menyukai pelajaran ini.

“Katanya guru matematikanya suka menunjuk murid untuk ngerjain soal di papan. Kalau enggak bisa disetrap. Toni kan malu Ma, begitu katanya,” tutur Wina ibu rumah tangga yang berdomisili di Jakarta Selatan ini.

Serupa dengan pengalaman Adianti. Putrinya Sofia,siswi kelas tiga sebuah sekolah swasta di Jakarta Barat ini, mengaku tidak menyukai pelajaran berhitung.

“Kalau ada satu soal saja yang dia enggak bisa kerjakan, udah dia nyerah. Katanya matematika susah, padahal saya sudah masukin dia ke tempat les,” jelas Adianti yang merupakan wanita karier.

Memang tak bisa dipungkiri matematika menjadi pelajaran yang dipandang menantang sekaligus menakutkan bagi siswa. Banyak siswa yang menganggap pelajaran ini menantang, namun jumlah siswa yang memandang matematika sebagai mata pelajaran yang sulit justru lebih banyak. Dalam hal ini peran guru matematika memang sangat menentukan.

Pengamat pendidikan Arief Rachman mengatakan, sayangnya masih banyak guru yang mengajar dengan semaunya. Misalnya memegang prinsip bahwa materi yang diajarkan untuk satu hari tersebut harus tuntas, kendati siswa masih banyak yang tidak mengerti.

“Guru matematika harus menyenangkan agar anak-anak merasa nyaman dengan kondisi pengajaran dan tertarik untuk mengikuti pelajaran dengan baik,” ujar pria yang pernah menjadi dosen luar biasa di Fakultas Psikologi UI ini.

Dikatakan Arief, matematika merupakan suatu ilmu berpikir. Pelajaran ini boleh dibilang pelajaran yang menggunakan simbol-simbol sehingga cenderung bersifat abstrak.

“Maka itu, harus dibuat ke dalam contoh atau bendabenda agar siswa lebih mudah memahaminya,” kata Arief kepada Seputar Indonesia.

Sayangnya, sebagian besar pelajaran di bangku SD hanya mengedepankan materi atau contoh yang abstrak, bukannya menerjemahkannya dalam bahasa konkret. Akibatnya, dasar ilmu ini kurang kuat tertanam di benak siswa. Bukan hanya itu, untuk penjumlahan maupun perkalian bisa saja didapatkan siswa dari proses instan bukan melalui proses berpikir.

Ambil contoh perkalian, siswa biasanya ditugaskan untuk menghafal perkalian tanpa mengetahui dari mana datangnya bilangan hasil dari perkalian tersebut.

“Jadi, ketika dilibatkan dalam satu soal, anak menjadi bingung. Karena ilmu yang didapat tidak menyuruhnya untuk memahami,” tambah Arief.

Apalagi dengan adanya standar nilai UN, mau tidak mau anak harus rajin belajar demi mendapat nilai baik. Padahal, bukan itu sebenarnya tujuan dari proses pengajaran.
Sejatinya pelajaran ini menjadi bekal untuk masa depan anak kelak.

Agar anak mampu berpikir secara sistematis dan rasional. Masih minimnya peran guru dalam pengajaran matematika, juga dirasakan oleh Konsultan Institute for Education Reform Universitas Paramadina Ahmad Thoha Faz ST.

Dikatakan Ahmad, guru mengajar secara “egois”, yakni mengajar tanpa mengetahui apa yang sebenarnya ada di pikiran siswa. Ibarat dokter yang langsung memberikan terapi tanpa memberi tahu hasil diagnosis.

“Padahal, pelajaran apa pun harus dikaitkan dengan cara berpikir siswa dan bukan muncul dengan konsep abstrak, namun konkret. Sebenarnya inilah tujuan pelajaran matematika,” pungkas alumnus Teknik Industri ITB ini.

Maka, sering kali siswa hanya disuruh menghafal rumus oleh guru, ketimbang mengajak siswa menggunakan nalarnya untuk berpikir.

“Yang terjadi kemudian, keesokan harinya siswa lupa atau bingung rumus tersebut untuk aplikasi soal yang mana. Karena mereka hanya menghafal bukan memahami,” kata Ir Helena Margaretha selaku Head of Mathematics Department Universitas Pelita Harapan.

Adapun pendiri Klinik Pendidikan MIPA Ir Ridwan Hasan Saputra MSi melihat kebanyakan metode pengajaran yang diterapkan guru hanya sekadar transfer ilmu pengetahuan.

Tanpa ada penjelasan lebih lanjut mengenai kegunaan ilmu tersebut dan aplikasinya yang bersinggungan dalam kehidupan.

Kegiatan siswa di sekolah hanya menyimak pengajaran yang diberikan dan mencatat. Guru juga sangat jarang memberikan tugas kepada siswa, terutama di sekolah negeri.

“Seharusnya guru memberikan penjelasan lewat studi kasus yang mungkin bisa dihubungkan dengan aktivitas sehari-hari siswa. Jadi, siswa pun merasa lebih dekat dengan materi yang disampaikan,” tutur Ridwan.

Untuk itu, guru dapat menggunakan bantuan alat peraga sehingga siswa lebih paham. Ridwan juga mengatakan, agar tidak monoton dan anak-anak lebih bersemangat belajar, sesekali guru bisa menerapkan permainan pada pelajaran ini untuk siswa SD. Seperti pelajaran lain, ilmu matematika pun berkembang seiring zaman.

Karenanya, menuntut guru untuk terus mengembangkan pengetahuan dan kemampuannya. Ridwan mengaku, sayangnya, tidak sedikit guru yang hanya berpatokan pada satu atau dua buku untuk mengajar dan hanya berkutat pada pengetahuan yang sama.

“Guru seperti ini tidak mengikuti perkembangan dan hanya berpatokan pada text book,” imbuh Ridwan.
Sumber: www.okezone.com
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.